Sementara itu, Skype dan Snapchat besutan Microsoft diklaim masih menggunakan enkripsi yang lemah. Amnesty International melihat bahwa Skype telah menjadi target utama dari pengawasan pemerintah di seluruh dunia. Meskipun Microsoft memiliki komitmen yang kuat terhadap perlindungan hak asasi manusia, pada kenyataannya enkripsi pada Skype masih tergolong lemah.
“Snapchat tidak mengaplikasikan enkripsi end-to-end. Itu sebabnya Snapchat perlu menginformasikan kepada pengguna tentang bagaimana pihaknya mengatasi berbagai potensi ancaman. Ini terkait fitur Snapchat yang dapat menghilangkan pesan dan berpotensi menimbulkan salah persepsi tentang makna privasi itu sendiri,” ungkap Amnesty International.
Sebelumnya, WhatsApp sempat meraih simpati masyarakat setelah mengumumkan penerapan enkripsi end-to-end pada bulan April lalu. Sayangnya, WhatsApp kemudian mendapat kecaman karena memutuskan untuk membagikan data pengguna dengan Facebook. Dengan modal data ini, Facebook bakal merekomendasikan teman yang lebih tepat dan iklan yang lebih relevan kepada penggunanya.
Terkait hal tersebut, Koum mengungkapkan bahwa persyaratan layanannya telah diperbarui agar sesuai dengan sistem deteksi spam milik Facebook.
Lebih lanjut, Facebook juga menerapkan sistem enkripsi dalam layanan pesannya, Facebook Messenger. Amnesty mengungkapkan bahwa Facebook menjadi aplikasi yang paling sering menggunakan enkripsi untuk isu yang berkaitan dengan hak asasi manusia. Media sosial yang satu ini juga paling transparan dalam setiap aktivitas yang dilakukannya.
“WhatsApp menjadi satu-satunya aplikasi yang memperingatkan penggunanya saat enkripsi end-to-end tidak diaplikasikan pada obrolan tertentu. Sebaliknya, Facebook Messenger tidak menerapkan enkripsi end-to-end secara default. Facebook juga tidak memperingatkan pengguna bahwa obrolan yang kerap dilakukan penggunanya ternyata menggunakan enkripsi yang lemah,” imbuhnya
Tidak ada komentar:
Write komentar